Cute Tinkerbell COP21 dan Indonesia - Belagustinaaa!

COP21 dan Indonesia



COP21 dan Indonesia Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Global

COP21 di Paris, Tonggak Penting Perubahan Iklim
Conference of the Parties (COP) to the United Nations Framework Convention on Climate Change sesi ke-21 atau dikenal dengan COP21 akan mengadakan pertemuan pada 30 November – 11 Desember 2015 di Paris, Perancis. COP21 akan menjadi sebuah tonggak penting perjuangan menghadapi perubahan iklim”.
Tujuan pertemuan COP21, untuk kali pertama dalam 20 tahun, sebuah kesepakatan legal-binding akan dihasilkan. Kesepakatan ini memungkinkan perjuangan komunitas internasional dalam menghadapi perubahan iklim menjadi lebih efektif serta memberikan penguatan terhadap transisi upaya pencegahan maupun adaptasi, serta membangun masyarakat low carbon dan program-program ekonomi yang bersifat low carbon.
Indonesia adalah kawasan yang sangat penting dan sekaligus rawan terkait dengan persoalan perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan luas rawan terhadap perubahan iklim yang dihasilkan dari penambahan emisi karbon akibat alih fungsi lahan hutan. Posisi tersebut memberikan konsekuensi dan dampak yang besar terhadap demokrasi, institusi pemerintahan, ekonomi dan komunitas dalam berbagai aspek. Kawasan hutan tropis yang terdapat di Indonesia adalah kawasan terbesar kedua di dunia sesudah Brazil, dimana jutaan hidup manusia tergantung, terkait dengan pesoalan kepemilikan dan kestabilan keamanan, seperti yang ditunjukkan oleh fenomena pembakaran hutan dan asap yang ditimbulkan hingga ke negara tetangga lain di ASEAN seperti Malaysia dan Singapura.
Kemajuan berbagai upaya dalam menghadapi perubahan iklim hanya dapat dicapai dengan proses keterlibatan penuh berbagai komponen yang ada didalam masyarakat, baik masyarakat umum maupun sektor swasta. Solusi yang akan ditempuh hanya mungkin melalui sebuah dialog dan kerjasama dari berbagai stakeholders yang ada, termasuk partai politik dan kelompok pemuda.
Upaya menghadapi perubahan iklim dapat dilakukan dengan dengan cara-cara mitigasi (pencegahan), adaptasi, maupun membangun ketahanan ekonomi, sosial dan lingkungan nasional, dengan menanggulangi kemiskinan, kekurangan gizi, kekurangan pangan, dan lain sebagainya. Pengembangan upaya adaptasi adalah prioritas yang dapat dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia, yang terintegrasi di dalam program pembangunan yang berkelanjutan (sustainability development). Kerangka adaptasi perlu dibangun dengan menyusun perkiraan dan peta kerawanan serta kerentanan sosial dan lingkungan terhadap perubahan iklim. Proses adaptasi juga harus mencakup penyadaran terhadap masyarakat (public awareness), reformasi kebijakan dan penguatan lembaga publik yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan lingkungan. Selain itu sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah strategi pembangunan yang rendah karbon (low carbon).
Visi yang baik harus dibangun dalam upaya melakukan pencegahan dan adaptasi terhadap perubahan iklim, baik di tingkat nasional, regional maupun global. Dalam membangun upaya adaptasi dan pencegahan terhadap perubahan iklim, beberapa hal dapat dilakukan dalam konteks global dan perlu mendapat rundingan serius pada pertemuan COP21 Paris 2015, antara lain adalah:
Upaya Adaptasi dan Resilience (ketahanan)
1.    Negara-negara maju dapat memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi kepada negara negara berkembang dan yang berada dalam posisi rawan terhadap ancaman perubahan iklim, serta memperkuat pertukaran cara-cara terbaik dalam kerangka adaptasi terhadap perubahan iklim, terutama terkait dengan pertanian dan ketahanan pangan, manajemen  kelautan dan sumberdaya pesisir, ekosistem dan proteksi terhadap biodiversity (keanekaragaman hayati), pembangunan dan energi yang berkelanjutan.
2.    Memastikan memasukkan informasi tentang risiko bencana dan perubahan iklim di dalam sistem pendidikan dan juga program program pendidikan di tingkat komunitas, dengan pengutamaan pada para pengambil keputusan dan pengelola pemerintahan.
3.    Mendorong adanya persiapan di tingkat komunitas dan membangun early warning system, dan juga berbagai upaya mitigasi lainnya serta aktivitas pengurangan risiko ancaman bahaya.
4.    Menyadari bahwa perubahan iklim adalah sebuah kesempatan dan ancaman; dan kesempatan tersebut harus dapat dikapitalisasi menjadi sebuah tuntutan agar pemerintah menjadi lebih responsif, akuntable dan transparan serta lebih mengarah pada masyarakat yang siap terhadap adaptasi dan berketahanan  terhadap perubahan iklim.
Manajemen Kesiapan, Pencegahan dan Pengurangan Risiko Bencana
1.    Institusionalisasi dan intensifikasi kebijakan manajemen kesiapan, pencegahan, dan pengurangan risiko bencana, dukungan dan mekanisme koordinasi, dan memastikan berbagai legislasi yang relevan terkait dengan bencana dapat diterapkan dan ditegakkan.
2.    Membangun dan memperkuat kapasitas serta mekanisme pemerintahan baik di tingkat nasional, lokal dan regional terhadap respons bencana dan pemulihan akibat bencana.
3.    Mengurangi risiko dari perubahan iklim dengan membangun kapasitas kemampuan adaptasi dari kelompok komunitas dan individu yang terkena dampak perubahan iklim (seperti pengurangan kemiskinan, diversifikasi pangan, akses terhadap layanan minimum, perencanaan dan zoning penggunaan tanah, pemukiman kembali di kawasan yang lebih aman, standar struktur bangunan, infrastruktur dan kawasan buffer lingkungan yang tahan terhadap perubahan iklim, dan manajemen ekosistem)
Energi yang Terbarukan, Investasi dan Kesempatan Ekonomi
1.    Memberikan isentif terhadap transisi perubahan dari energi fosil ke energi terbarukan.
2.    Membangun dan meningkatkan akses terhadap sumber sumber energi alternatif dan berketahanan iklim dengan mendorong investasi terutama di bidang bio-energi dan energi lain seperti matahari dan angin
3.    Mendukung keinginan untuk melakukan investasi di sektor-sektor ketahanan iklim atau infrastruktur yang tahan terhadap perubahan klim dengan partispasi sektor swasta dan inovasi, untuk menghasilkan kesempatan ekonomi baru untuk pertumbuhan yang berkesinambungan.

COP21 UNFCC, Dunia Sambut Baik Kesepakatan Perubahan Iklim
Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim PBB (COP 21 UNFCCC) yang diikuti 195 negara, berhasil menyepakati Paris Agreement untuk mengatasi salah satu tantangan umat manusia terbesar saat ini. Kesepakatan global yang akan berlaku pasca tahun 2020 tersebut merupakan hasil kerja panjang yang berawal dari penciptaan Bali Roadmap pada COP 13 di Bali tahun 2007. (12/12)
Presiden RI, Bapak Joko Widodo, bersama sekitar 150 kepala negara lainnya telah hadir pada  awal konferensi, 30 November 2015 untuk memberikan dorongan politis dan menciptakan momentum untuk Kesepakatan tersebut, mengingat tajamnya perbedaan posisi antara negara maju dan negara berkembang.
Kesepakatan Paris merupakan hasil kompromi seluruh negara. Diakui bahwa Kesepakatan tersebut tidak ideal, namun merupakan suatu langkah transformatif bagi dunia untuk menghadapi perubahan iklim.
Bagi Indonesia, Kesepakatan tersebut telah mengakomodasi dorongan Indonesia untuk terciptanya pengaturan global yang mencerminkan keseimbangan, keadilan dan tidak menghambat pembangunan negara berkembang. Pelaksanaan kewajiban negara maju dan negara berkembang disesuaikan dengan kemampuan nasional dan adanya dukungan, terutama pendanaan, bagi negara berkembang.
Lebih lanjut, Kesepakatan tersebut juga mencakup pentingnya upaya penurunan emisi dan adaptasi, pelestarian laut dan hutan, peningkatan renewable energy, dan peran serta masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim, yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia. Indonesia sendiri telah menyampaikan target penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri, dan 41 % dengan bantuan internasional.
Secara umum, kesepakatan tersebut menetapkan tujuan jangka panjang yang ambisius untuk pembatasan kenaikan suhu bumi di bawah 2oC di atas periode pra-industri serta mengupayakannya di bawah 1.5oC. Untuk mencapainya, negara-negara akan menyampaikan target penurunan emisi setiap 5 (lima) tahun yang akan di-review secara berkala untuk terus ditingkatkan. Untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas, negara-negara akan melaporkan capaian penurunan emisinya, dengan fleksibilitas pelaporan untuk negara berkembang. Negara maju juga akan melaporkan dukungan yang mereka berikan.
Dalam Kesepakatan tersebut, negara maju diwajibkan memberikan dukungan pendanaan bagi negara berkembang dalam aksi mitigasi dan adaptasinya. Negara berkembang juga dapat memberikan dukungan secara sukarela. Kesepakatan Paris juga mengakui pentingnya peningkatan adaptasi serta adanya loss and damage yang terkait dengan bencana akibat perubahan iklim.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap perubahan iklim menyambut baik Kesepakatan tersebut. Hal itu bukanlah akhir perjuangan, yang lebih penting adalah komitmen dunia untuk implementasinya. Lebih lanjut, di dalam negeri perlu perlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam mewujudkan kontribusi Indonesia dalam pengendalian pemanasan global.


Kesepakatan Perubahan Iklim yang Dicapai pada COP21
Konferensi perubahan iklim global di Paris, Prancis, telah mengadopsi kesepakatan internasional, yang bertujuan mengganti bahan bakar dunia berbasis fosil dan memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat celsius.
Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengakhiri pembicaraan melelahkan selama dua minggu dengan mengetuk palu, menandai konsensus di antara para menteri. Para menteri berdiri selama beberapa menit untuk bertepuk tangan dan meluapkan suka cita.
"Saya melihat reaksi positif. Saya mendengar ada keberatan kesepakatan iklim Paris diadopsi. Ini mungkin hanya sebuah palu kecil, tetapi dapat melakukan hal-hal besar,” kata Fabius, yang dikutip dari abc.net.au.
Fabius mengatakan, kesepakatan itu akan membatasi pemanasan global jauh di bawah 2 derajat celsius. Pemanasan global 2 derajat akan mengancam umat manusia dengan naiknya air laut dan memburuknya kekeringan, terjadinya banjir dan badai.
Presiden AS Barack Obama adalah salah satu pemimpin dunia yang memuji kesepakatan, yang katanya menandai "titik balik bagi dunia" pada perubahan iklim. "Perjanjian ini merupakan kesempatan terbaik, kita harus menyelamatkan satu planet yang kita punyai," katanya.
Fabius mendesak negara-negara untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Juga, menetapkan tujuan agar segera menghilangkan emisi gas rumah kaca buatan manusia abad ini, menciptakan sebuah sistem untuk memastikan negara-negara agar berbuat baik dalam upaya sukarela untuk mengurangi emisi, dan menyediakan miliaran dolar untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin.
Hasil Kesepakatan Perjanjian Perubahan Iklim Paris 2015
·      Pengurangan emisi untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi disepakati di bawah 2 derajat celsius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat celsius.
·      Sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi gas rumah kaca, dilakukan secara transparan dan sesegera mungkin.
·      Kesepakatan akan menghilangkan penggunaan batubara, minyak, dan gas, untuk energi bahan bakar fosil digantikan oleh surya dan tenaga angin.
·      Negara-negara maju memberikan $ US100 miliar (Rp 1.396 triliun) per tahun untuk membantu negara-negara berkembang.
Kesepakatan Paris Perwujudan Ambisi dan Komitmen Menghadapi Ancaman Perubahan Iklim
Sementara itu, World Wildlife Fund (WWF) Indonesia dalam rilis yang dimuat dalam wwf.or.id, seperti dikemukakan Dr Efransjah, Chief Executive Officer (CEO) WWF Indonesia, dalam menanggapi lahirnya Kesepakatan Paris, menyatakan WWF menyambut positif kesepakatan itu. Kesepakatan tersebut memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak terburuk perubahan iklim. Di dalamnya juga sudah menggambarkan perhatian untuk perlindungan kelompok rentan dan kepentingan Indonesia.”
Perjanjian Paris, memuat tujuan global untuk adaptasi perubahan iklim, termasuk secara terpisah menyebut tentang kerusakan dan kerugian akan dampak perubahan iklim. Selain itu, di dalamnya juga menjelaskan, semua negara harus bertindak untuk menahan laju deforestasi, degradasi lahan, dan memperbaiki tata kelola lahan. Termasuk proses yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan perhitungan emisi karbon pada sektor lahan. Indonesia bersamaan dengan berlangsungnya COP 21 telah meluncurkan sistem perhitungan  emisi karbon dari sektor lahan yang dikenal dengan INCAS (Indonesia National Carbon Accounting System).
Indonesia, perlu berada pada jalur di mana tercapai puncak emisi karbon (carbon peak) dari pembangunan konvensional pada tahun 2020, dan berupaya setelahnya menurunkan emisi karbon secara drastis. Selain mengurangi laju deforestasi dan degradasi lahan, upaya yang perlu ditempuh sejak sekarang adalah mengikuti transisi global beralih menuju penggunaan energi bersih dan terbarukan. Indonesia, dikenal sebagai negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, dan juga cukup memilki potensi pemanfaatan energi dari tenaga surya maupun tenaga air.
“Terpenting pasca COP 21 adalah bagaimana negara termasuk Indonesia mengimplementasikan komitmen dalam INDCs secara sistematis, dan bertanggung jawab melibatkan berbagai kelompok masyarakat madani dalam Delegasi RI oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, merupakan langkah maju yang mewarnai upaya mewujudkan tata kelola yang lebih baik," kata Efransjah.
Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, mengatakan, “Pembangunan rendah karbon seyogianya hanya terwujud melalui kerja sama dengan aktor non-pemerintah, termasuk di dalamnya sektor bisnis, kota, dan kelompok masyarakat luas. Hasil yang dicapai di Paris adalah buktinya. Proses ini telah membuat masyarakat dunia lebih sadar dan peduli akan pentingnya kolaborasi skala besar untuk menangani permasalahan perubahan iklim.”
Kesepakatan Paris menghendaki pada tahun 2018, semua negara bisa melaporkan pencapaiannya terhadap tujuan yang disepakati pada akhir COP 21, meliputi pengurangan emisi, adaptasi, dan pendanaan.

Ini Arti Penting Konferensi Iklim COP21 Paris Bagi Bumi
Presiden Conference of Parties (COP) ke-20 Manuel Pulgar-Vidal akan membuka  COP ke-21 di Paris, Prancis, pada Senin pagi, 30 November 2015. Dia adalah Menteri Lingkungan Hidup Peru, lokasi diselenggarakannya COP ke-20 pada Desember 2014.
Setelah membuka, Vidal akan menyerahkan jabatan Presiden COP kepada Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius. Fabius akan menjadi Presiden COP ke-21, yang sidangnya akan berakhir pada 11 Desember 2015.
Pertemuan Para Pihak (Conference of Parties/COP) ke-21 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ini bakal dihadiri 147 kepala negara dan kepala pemerintahan. Termasuk Presiden Joko Widodo, Presiden Barack Obama, Presiden Vladimir Putin, Presiden Xi Jin Ping, Perdana Menteri David Cameron, dan lainnya.
“COP ke-21 di Paris ini memiliki arti strategis,” kata Dirjen Pengendali Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nur Masripatin di Paris pada Ahad, 29 November 2015.
Arti pentingnya adalah karena COP21 ini menjadi titik kulminasi dari pembahasan yang dimulai sejak lahirnya Ad-Hoc Working Group on Durban Platform for Enhanced Action (ADP) di COP ke-17 tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan.
Latar belakang terbentuknya kelompok kerja ini berangkat dari kegagalan Protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012. Negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 gagal memenuhi target komitmennya untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kaca. Padahal mereka telah mencemari atmosfer Bumi dengan gas-gas tersebut sejak Revolusi Industri pada abad ke-18.
Gas-gas tersebut menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim di seluruh dunia. Akibatnya, frekuensi dan kuantitas bencana hidrometeorologi makin besar, seperti badai, banjir, kekeringan, dan lainnya. Negara berkembang dan miskin yang tidak memiliki dana menghadapi bencana itu menjadi kelompok paling rentan.
Para petani dan nelayan harus mengubah kebiasaannya dalam mencari nafkah karena kearifan lokal untuk musim tanam dan panen tidak berlaku lagi. Nelayan dan warga miskin yang tinggal di wilayah pesisir terancam permukimannya oleh banjir rob, abrasi, dan naiknya paras muka laut.
Pada COP di Durban disepakati untuk menyusun rezim baru kesepakatan dunia dalam menangani pemanasan global pasca 2020 yang berlaku bagi semua negara (parties). Prinsip yang disepakati adalah Common but Differentiated Responsibility (CBDR) and respective capability (CBDR-RC).
COP21 ditargetkan akan menghasilkan rezim penanganan perubahan iklim global baru yang akan mengikat semua negara pihak (applicable to all) dengan tetap memperhatikan prinsip CBDR-RC.
Bagi Indonesia, kesepakatan baru ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan nasional pasca 2020. Terlebih karena sebagai bagian penting dari komitmen pasca 2020 adalah diserahkannya INDC.



Presiden Joko “Jokowi” Widodo memimpin langsung delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) 21, di Paris, Perancis yang dimulai Senin, 30 November.
Dalam kesempatan ini, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon 29 persen, demi mencapai tujuan bersama, yakni menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius.
Berikut adalah perkembangan terbaru dari COP:
13 Desember: Draf final Kesepakatan Paris diterima, Indonesia ikut menerima
Setelah melalui pembahasan, akhirnya draf diterima oleh negara peserta Konferensi COP 21, termasuk Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang memimpin delegasi Indonesia dalam sidang pleno adopsi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) mengenai Perubahan Iklim, menyatakan Indonesia menerima naskah Kesepakatan Paris.
Berikut keterangan Siti Nurbaya kepada Rappler, Minggu dini hari.
“Indonesia menyampaikan ucapan penghargaan atas kerja keras Presiden COP 21 dan tim. Kami juga berterima kasih kepada pimpinan Grup G-77 dan China yang telah memimpin grup kerja selama tahun-tahun terakhir proses menuju Kesepakatan Paris."
"Ini peristiwa bersejarah. Kesempatan untuk melakukan perubahan dunia. Sejarah untuk menciptakan planet yang lebih aman dan berkelanjutan untuk generasi mendatang. Kesepakatan ini juga memiliki nilai historik dalam mengembangkan ketahanan bagi manusia di dunia."
"Kesepakatan Paris adalah hasil kerja keras dan proses yang terbuka, inklusif dan pendekatan yang didorong oleh para pihak. Indonesia melihat pentingnya bahwa kesepakatan ini dirasakan sebagai kepemilikan bersama."
"Kesepakatan Paris bukan produk yang sempurna yang mengakomodir semuà kepentingan. Kesepakatan ini mengakomodir kebutuhan semua negara dalam posisi kerja di atas batas-batas negara dengan segala konsekuensi atas perubahan iklim bagi humankind."
"Paris Agreement ini didasarkan pada dasar yang solid untuk aksi-aksi lanjutan negara anggota. Perjanjian ini juga mendorong negara maju untuk terus memimpin langkah-langkah penurunan emisi dan dukungan kepada negara berkembang."
"Tentu di sisi lain negara berkembang memberikan kontribusinya sesuai kapasitas masing-masing."
"Kita hadapi lembaran baru di mana setiap negara penting untuk segera melakukan internalisasi Kesepakatan Paris ini dan menerjemahkannya menjadi kebijakan dan pendekatan di masing-masing negara untuk mencapai perubahan dengan sasaran global."
Pekerjaan rumah ke depan sangat banyak. Indonesia sebagai negara berkembang yang sudah lebih maju dan aktif telah berada pada posisi tengah untuk terus menapak maju.
Dan yang penting langkah-langkah adaptasi yang binding (mengikat) dengan langkah mitigasi penurunan emisi gas rumah kaca. Pekerjaan rumah banyak di sektor kehutanan, energi, industri dan transportasi."
Kita akan kerja keras bersama. Dalam kaitan adaptasi kerja-keras bersama harus dilakukan dengan semua stakeholders: kebijakan pemerintah, swasta, aktivitas masyarakat dan masyarakat adat."
"Dengan demikian maka di Maroko, pada COP 22, nanti lebih banyak hal yang bisa diperlhatkan Indonesia kepada dunia.”
12 Desember: Pembahasan naskah final Kesepakatan Paris
PEMUNGUTAN SUARA. Suasana pembahasan draf final Konferensi Perubahan Iklim COP 21 di Paris, 12 Desember 2015. Negara-negara peserta akan memberikan suaranya. Foto istimewa
Saat ini, para delegasi di konperensi para pihak (Conference of Parties), COP 21 tengah membahas naskah final Kesepakatan Paris yang diumumkan Pukul 13.30 waktu Paris, atau sekitar Pukul 18.30 wib, melalui situs UNFCCC.
Sebelumnya, dalam sidang pleno pengantar pembahasan naskah final Kesepakatan Paris, Presiden COP 21, Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius mengatakan bahwa naskah final Kesepakatan Paris adalah hasil kompromi yang berimbang, adil bagi semua pihak, ambisius dan realistis.
Dibandingkan dengan draf versi sebelumnya, berikut catatan penting mengenai naskah final yang kini menunggu untuk disetujui oleh 195 negara anggota UNFCCC yang hadir di ruang sidang pleno di kawasan ekspo Le Bourget, Paris:
1.    Masuk kalimat yang menyatakan bahwa para pihak menyepakati untuk menjaga agar ambang batas suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius pada 2020. Jika disepakati, ini kemajuan yang berarti dan tergolong ambisius. Enam tahun lalu, di COP 15 di Kopenhagen, Denmark, 200 negara menyatakan berupaya menjaga agar suhu bumi di bawah 2 derajat celsius, di atas posisi sebelum era industri.
2.    Masuk kalimat bahwa setiap lima tahun akan dilakukan stocktake, atau pelaporan (secara kolektif) bagaimana setiap negara melakukan rencana terkaitt perubahan iklim terutama penurunan emisi karbon. Laporan pertama akan dilakukan tahun 2023.
3.    Untuk pertama kalinya dimasukkan soal loss and damage, kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Naskah final Kesepakatan Paris memasukkan mekanisme untuk menangani kerugian secara keuangan yang dialami negara-negara yang rentan terkena dampak perubahan iklim, termasuk cuaca yang ekstrim. Tentu saja, atas permintaan negara besar seperti Amerika Serikat, tidak dimasukkan kalimat yang terkait dengan kewajiban dan kompensasi yang bisa membuka peluang bagi negara atau rakyat di area terdampak perubahan iklim, menggugat dan meminta ganti rugi kepada perusahaan AS. Maklum, korporasi Negeri Paman Sam ada di mana-mana.
4.    Ada keharusan bagi negara untuk merevisi rencana nasional terkait perubahan iklim, pada tahun 2018, berlaku setelah 2020.
5.    Dalam draf terdahulu dicantumkan bahwa negara harus bekerjasama untuk mencapai netralitas emisi gas rumah kaca pada paruh kedua dari abad ini. India, Tiongkok dan negara berkembang yang masih mengandalkan energi fosil termasuk batubara menolak jadwal ini. Jadi, dalam naskah final, jadwal ini tidak masuk.
Kendati demikian, naskah final Kesepakatan Paris dianggap sebagai sinyal kuat berakhirnya era energi berbahan fosil. Melihat target penurunan emisi dan ambang suhu, mustahil jika sektor energi masih mengandalkan batubara, minyak bumi dan gas.
Sebagaimana dikatakan dalam berbagai sesi bicara di forum COP 21, Al Gore mengingatkan sektor swasta dan investor untuk diversifikasi investasi di sektor rendah karbon.
Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan cukup puas dengan naskah final itu.
Tapi, kata dia, “dalam paragraf soal kewajiban pendanaan, ada pelemahan tanggung jawab. Tidak jelas siapa yang wajib menyediakan pendanaan untuk negara berkembang dan miskin senilai 100 miliar USD itu.”
Yang dimaksud Fabby Tumiwa adalah paragraf 54 bagian decision, yang menggunakan kata intend to, atau bisa diartikan menunjukkan minat.
Padahal sebelumnya dalam draf disebutkan ini tanggung jawab negara maju dengan melibatkan sektor publik dan swasta.
“Memang ada elemen finance yang awalnya ada dalam draft agreement, pindah ke decision. Jadi memang kurang kuat memastikan perkiraan provisi,” kata Laksmi Dhewanti, koordinator perunding untuk aspek pendanaan, di delegasi Indonesia.
Indonesia tengah berkoordinasi dengan negara kelompok G-77 dan Tiongkok membahas draf final ini.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa tidak mungkin merumuskan kesepakatan yang memuaskan semua negara.
“Indonesia menyadari bahwa posisinya bisa masuk ke kepentingan negara maju maupun negara berkembang, memperhatikan betul untuk tidak mengambil posisi ekstrim dalam perundingan,” kata Rachmat kepada Rappler.
Menurut Rachmat, keputusan untuk mendukung opsi ambang batas suhu di bawah 2 derajat Celcius dengan upaya bergerak menuju 1,5 derajat Celsius didasarkan pada potensi bauran energi terbarukan dengan potensinya banyak di Indonesia, termasuk energi panas bumi dan biofuel.
Selain itu Indonesia juga sudah berkomitmen untuk merestorasi kondisi tanah yang rusak , begitu pula restorasi kawasan pesisir pantai.
Beberapa saat lagi, peserta sidang pleno COP 21 akan memberikan suara untuk menentukan apakah naskah final diadopsi.
Setelah adopsi, setiap negara harus meratifikasi di negara masing-masing, biasanya melalui proses legislasi.
Pengalaman dengan Protokol Kyoto, banyak penandatangan kesepakatan itu yang ternyata tidak meratifikasi di negaranya.
10 Desember: UNFCCC melansir draft terbaru Kesepakatan Paris, Indonesia berharap ambang batas suhu di bawah 2 derajat Celsius.
“Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral sudah menghitung, Indonesia mendukung pilihan ambang batas suhu bumi di bawah 2 derajat celsius,” kata Duta Besar Indonesia untuk Perancis, Hotmangaradja Panjaitan. Uni Lubis dari Rappler mengontak Dubes Hotma, Kamis malam (10/12), di saat krusial menuju negosiasi final Kesepakatan Paris.
Komperensi para pihak (COP) 21 di kawasan Le Bourget, utara Paris, berlangsung sejak 30 November 2015, dan dijadwalkan berakhir Jum’at, 11 Desember 2015. “Semoga nanti malam draft final disepakati,” kata Hotman yang dalam delegasi Indonesia tercatat sebagai wakil ketua tim negosiator. Ada 60-an negosiator Indonesia yang terlibat dalam COP 21 yang disebut sebagai konperensi perubahan iklim abad ini.
Ekspektasi begitu tinggi bahwa COP 21 menghasilkan kesepakatan perubahan iklim yang bersejarah, mengikat secara hukum (legally binding), menggantikan Protokol Kyoto yang dianggap gagal, juga akhir COP 15 di Kopenhagen yang mengecewakan.
“Ada kemungkinan besar akhirnya tidak legally binding, tapi diusahakan malam ini selesai,” kata Hotma.
Posisi Indonesia terhadap teks negosiasi Paris 2015.






Posisi Indonesia terhadap teks negosiasi Paris 2015.
Sejak tanggal 7 Desember, ketika perundingan masih ke sesi Komite Paris yang melibatkan para menteri atau alternate head of delegation seperti Rachmat Witoelar dari Indonesia, Indonesia mendorong agar proses perundingan politis mencapai apa yang disebut, “political landing zone.” Di sinilah lobi-lobi tingkat tinggi dilakukan, difasilitasi Presiden COP 21, Menteri Luar Negeri Laurent Fabius.
Sumber di tim negosiator Indonesia misalnya mengatakan, dalam pandangan umum di Kelompok Kerja jangka panjang, yang dipimpin Menteri Luar Negeri Saint Lucia James Fletcher dan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia Tine Sundtoft, dibahas soal target ambang batas suhu.
Pilihan 1: Di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat sebelum era industri.
Pilihan 2: Sebaiknya di bawah 2 derajat celcius di atas tingkat sebelum era industri, dan (secara cepat) meningkatkan upaya secara global untuk membatasi peningkatan temperature bumi di bawah 1,5 derajat Celsius. Sambil mengakui bahwa di sejumlah kawasan dan ekosistem yang rentan dan berisiko tinggi (akan dampak iklim) diproyeksikan suhu memanas di atas 1,5 derajat Celsius.
Pilihan 3: Di bawah 1,5 derajat celcius di atas sebelum era industri.
Negara kepulauan kecil dan negara yang sering menjadi korban angin topan seperti Filipina mendukung pilihan di bawah 1,5 derajat celcius. Negara-negara ini juga mendukung mekanisme loss and damage yang mengakomodir kenyataan bahwa di sejumlah negara yang rentan akan dampak perubahan iklim, kerusakan yang terjadi sulit diperbaiki. Negara maju seperti AS menolak terlalu detil kesepakatan loss and damage, terutama menyangkut kewajiban kemungkinan bahwa negara yang bersangkutan bisa menggugat perusahaan AS atas dampak kerusakan yang ditimbulkan.
“Dalam konteks pendanaan, para pihak sepakat bahwa negara maju harus mengambil posisi memimpin, namun masih terlihat perbedaan pendapat mengenai peran negara lain, sumber pendanaan (public dan various sources), serta skala pendanaan,” demikian sumber Rappler. Masih ada tiga pilihan dalam draft teks yang ada.
Draft juga mencantumkan Non-Party Stakeholders. “Menerima upaya segala pihak untuk menangani dan merespon perubahan iklim, termasuk dari kalangan penggiat sipil, sektor swasta, lembaga keuangan, pengelola kota dan otoritas lain di setiap negara."
Dalam diskusi tingkat tinggi di Paviliun Indonesia pada tanggal 8 Desember 2015, direktur eksekutif UNEP Achim Steiner mengatakan, “keberhasilan implementasi Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim sangat ditentukan oleh ketersediaan dana dan kesiapan lembaga keuangan". Menteri Perdagangan dan Perubahan Iklim Selandia Baru, Tim Groser yang berbicara dalam panel yang sama mengapresiasi Otorita Jasa Keuangan di Indonesia, yang telah merilis aturan yang medukung pendanaan di sektor yang berpengaruh terhadap perubahan iklim.
Dalam panel itu Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang juga ketua Global Green Growth Institute berpidato.
Negosiasi politik di ujung COP sudah diprediksi, termasuk molornya jadwal negosiasi. Tuan rumah Perancis menginginkan COP di negeri yang baru dikoyak serangan teroris itu sukses, dan 150 kepala negara tidak hanya hadir untuk memberikan solidaritas global melawan teroris, melainkan juga memastikan keputusan yang penting bagi masa depan bumi dan kemanusiaan, dicapai.
Sesudah kantor Presiden COP 21 merilis draft teks pada Rabu malam (8 Desember), negara-negara melakukan negosiasi sampai tengah malam, dan berlanjut sampai pagi hari Kamis.
Negosiasi yang lebih informal digelar pada Kamis pagi, dibagi dalam dua grup yang masing-masing berisi 80-an negosiator kunci dari setiap negara. Satu kelompok dipimpin Laurent Fabius dan kelompok lainnya dipimpin menteri lingkungan hidup Peru, Manuel Pulgar – Vidal. Menteri Luar Negeri AS John Kerry bergabung dengan grup yang dipimpin Laurent Fabius. Di sinilah Kerry, yang saat menjadi senator dikenal sangat pro isu perubahan iklim, menyampaikan posisi AS soal skema “loss and damage”.
Saat perundingan Paris dimulai, ada 1.609 teks yang diberi tanda kurung, menunjukkan belum ada kesepakatan diantara para pihak. Dalam draft terbaru sepanjang 29 halaman, menurut pengamatan situs Parisagreement.org, materi yang dikurung berkurang menjadi 361 buah.
Selain isu mengenai ambang suhu yang menjadi isu perbedaan kunci selama 11 hari perundingan, isu lain yang menonjol adalah keinginan negara berkembang untuk memastikan Kesepakatan Paris mencantumkan secara jelas soal pendanaan yang mungkin mereka terima untuk menurunkan emisi dan menghadapi dampak perubahan iklim, sebesar US$ 100 miliar dolar per tahun dalam bentuk pendanaan publik dan swasta sebagaimana yang saat ini dijanjikan negara maju, dan dimulai 2020.
Negara maju seperti AS dan Australia serta negara yang rawan terkena dampak, menginginkan sistem pelaporan yang transparan mengenai penurunan emisi dicantumkan dalam kesepakata. Termasuk evaluasi berkala dan pembaruan proposal penurunan emisi yang disebut dengan INDC (Intended Nationally Determined Contribution). Negara berkembang juga bersikeras bahwa pembagian kategori negara tetap mengacu kepada konvensi PBB tahun 1992, di mana negara yang kini sudah maju ekonominya seperti Tiongkok dan Singapura masuk dalam kategori negara berkembang.
“Fairly good. Nanti banyak pekerjaan rumah,” kata Sarwono Kusumaatmadja, ketua tim pengarah nasional untuk perubahan iklim, kepada Rapper, Kamis larut malam waktu Paris.
8 Desember: Al Gore berbicara di Paviliun Indonesia
Hari ini, Selasa, 8 Desember, pemenang Nobel Perdamaian Al Gore akan berbicara di Paviliun Indonesia.
Al Gore akan berbicara soal bagaimana mengomunikasikan mengenai perubahan iklim. Sutradara film Davis Guggenheim pernah membuat film yang sangat terkenal pada 2006, An Inconvenient Truth.
Di film ini, Guggenheim mengikuti Al Gore yang memberikan ceramah dan seraya mengajar dan melakukan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran mengenai bahaya pemanasan global dan mengajak aksi nyata untuk mencegah perusakan lingkungan hidup.
Pekan lalu Al Gore memukau lebih dari 1.000 hadirin ketika dia memberikan kata pengantar dalam diskusi panel berjudul “Investing for the longterm, addressing carbon asset risk”.
Uni Lubis dari Rappler yang meliput acara tersebut menuliskanpesan yang disampaikan Al Gore di sini.
8 Desember: SBY: Problem terbesar manusia saat ini adalah pemanasan global
Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, hari ini akan berbicara dalam sesi panel diskusi tingkat tinggi di Paviliun Indonesia, bersama Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop dan Menteri Perubahan Iklim Selandia Baru Tim Grosner.
Kedua negara ini sejak lama menjalin kerjasama di bidang perubahan iklim dengan Indonesia.
Senin sore, SBY sebagai Ketua Global Green Growth Institute juga menjadi pembicara kunci dalam peluncuran Kemitraan Pertumbuhan Hijau yang Inklusif. Acara ini dilangsungkan di Paviliun Korea Selatan yang letaknya persis di samping Paviliun Indonesia.
Korea Selatan adalah sponsor utama berdirinya lembaga GGGI yang diinisiasi Sekjen PBB Ban Ki-moon dan sejumlah negara.
Problem terbesar yang dihadapi oleh manusia saat ini adalah pemanasan global. Tidak ada solusi yang terbaik, yang ada adalah mendorong pertumbuhan yang memperhatikan lingkungan, atau green growth. Tidak ada alternatif lain, ketika kita berupaya untuk membatasi ambang batas pemanasan bumi di bawah 2 derajat Celcius, sebagaimana yang juga saya lakukan selama memimpin Indonesia selama satu dekade,” kata SBY.
Menurutnya, pertumbuhan hijau adalah pertumbuhan yang mengedepankan keseimbangan, keberlanjutan, kesetaraan dan inklusif.
“Ini berbeda dengan pertumbuhan saat revolusi industri yang meninggalkan masalah termasuk pemanasan global,” kata dia.
SBY mengatakan, untungnya, saat ini negara-negara memiliki kemampuan teknologi, cara, modal kapital, dan semoga juga kemauan politik untuk membatasi pemanasan global ke angka 4–5 derajat Celsius pada 2100.
SBY juga berharap sukses Kesepakatan Paris, karena kali ini ada 185 negara memasukkan Intended Nationally Determined Contribution (INDC), atau komitmen penurunan emisi karbon.
“Masalahnya, antara yang tertulis di INDC belum tentu mudah dalam implementasi di lapangan,” kata SBY.
8 Desember: Hashim Djojohadikusumo akui dirinya kapitalis
Paviliun Indonesia juga akan menggelar diskusi mengenai pengarusutamaan gender dalam kebijakan perubahan iklim, studi kasus implementasi di Indonesia dan Filipina.
Menurut jadwal, Profesor Jeffrey D. Sachs, pendiri Earth Institute dan juga penasihat Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang pembangunan berkelanjutan, juga akan mampir berbicara di Paviliun Indonesia.
Buku Sachs yang terbaru, The Age of Sustainable Development, menjadi salah satu rujukan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek lingkungan hidup.
Kemarin di Paviliun Indonesia juga digelar diskusi panel tingkat tinggi yang melibatkan pemerintah dan sektor bisnis, menuju pembangunan yang memperhatikan perubahan iklim.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa Kesepakatan Paris hanya akan bisa diimplementasikan di lapangan dengan melibatkan partisipasi rakyat dan dunia usaha.
“Pemerintah memfasilitasi dengan regulasi,” kata dia.
Hashim Djojohadikusumo, pendiri grup Arsari mengiyakan pernyataan Rachmat dengan menceritakan pengalamannya mendorong perubahan peraturan di bidang kehutanan yang memakan waktu selama tiga tahun.
“Saat ini kita di Indonesia bisa menanam berbagai jenis tumbuhan termasuk yang bermanfaat untuk menghasilkan energi hijau dan konservasi,” ujar Hashim.
Di arena COP 21, Hashim memperkenalkan sistem tanaman tumpeng sari dengan 150 jenis tanaman dan aren.
“Saya tidak malu mengatakan bahwa saya ini kapitalis, yang dalam delapan tahun terakhir menjadi tertarik dan terlibat dengan bisnis yang mengedepankan aspek lingkungan. Dan jujur saja, saya melihat ada peluang bisnis yang menguntungkan di situ,” kata Hashim.
8 Desember: Bisnis dan konservasi bisa berdampingan
Melvin Korompis dari Artha Graha Peduli menceritakan tentang upaya konservasi yang dilakukan grup yang dipimpin Tomy Winata, mulai dari konservasi di Tambling Wildlife Nature Conservation di mana sejumlah satwa liar termasuk harimau sumatera menjalani rehabilitasi untuk dikembalikan ke alam bebas, pola perkebunan sawit berkelanjutan di area PT Pasifik Agro Sentosa di Kalimantan Barat, sampai hutan mangrove di Teluk Benoa, Bali.
“Pendiri kami telah melakukan kegiatan konservasi sejak 30 tahun lalu,” kata Melvin.
Ia memaparkan kerjasama dengan lembaga swadaya internasional dalam melakukan konservasi di lahan sawit termasuk dengan Yayasan Flora dan Fauna serta World Resource Institute.
“Kami mengalokasikan 25 persen lahan perkebunan untuk konservasi. Tidak semua dari 40 ribu hektar lahan ditanami,” kata Melvin. D
Ia menggarisbawahi pengalaman grup bahwa kegiatan bisnis dan konservasi sebenarnya bisa dijalankan berdampingan.
8 Desember: Kolaborasi pemerintah Indonesia dengan swasta dapat apresiasi
Phillipe Lacoste, duta besar perubahan iklim pemerintah Prancis, dalam panel diskusi yang sama mengapresiasi kolaborasi pemerintah Indonesia dengan swasta untuk menangani isu terkait pemanasan global dan peruban iklim.
“Ini adalah fenomena global, dan kita bisa lihat bagaimana kolaborasi ini misalnya dalam kerangka Lima Peru Agenda Action,” kata Lacoste.
Di COP 21 diluncurkan inisiatif swasta dan pemerintah untuk mencegah meningkatnya pemanasan global dan menurunkan emisi. Ada enam inisiatif yang diluncurkan, termasukmengurangi makanan sisa.
Acara dibuka oleh Achim Steiner, Direktur Eksekutif UNEP. Di acara ini juga diluncurkan laporan kesenjangan emisi (Emission Gap Report 2015).
8 Desember: Masih ada celah untuk capai target 2 derajat Celsius
Agus Justianto, kepala Paviliun Indonesia mewakili Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dalam acara ini.
“Dari INDC yang masuk ke UNFCCC, ternyata masih ada gapuntuk mencapai 2 derajat Celsius, sehingga Indonesia, Chile, dan Jerman diminta masukannya untuk dapat meningkatkan komitmen sehingga target itu bisa tercapai,” kata Agus kepada Rappler.
Berdasarkan dokumen INDC Indonesia, proyeksi emisi untuk semua diprediksi mencapai 2,88 giga ton CO2 pada 2030.
"Indonesia juga menyatakan penurunkan emisi tanpa syarat sebesar 29 persen dari emisi baseline pada 2030, atau setara dengan 0,835 giga ton CO2. “Ini lebih tinggi 3 persen dari pre-2020,” kata Agus.
Untuk mencapai target penurunan emisi ini, kontribusi sektor pertanian, kehutahan, dan perubahan tata guna lahan, sebesar 65,5 persen. Sisanya dari sektor lain seperti dari limbah, energi, dan transportasi.
Agus mengatakan bahwa dalam acara tersebut Indonesia juga menyampaikan akan menurunkan emisi melalui skema REDD+, di mana telah disusun tingkat emisi referensi hutan, FREL, dalam periode 2013-2020, berkisar dari dari 0,569 giga ton CO2 sampai 0,293 giga ton CO2 yang berasal dari deforestasi.
Penyanyi asal Indonesia, Oppie Andaresta, menyanyikan lagu berjudul Our House is Burning Down di Paviliun Indonesia. Lagu ini dinyanyikan sebagai pengingat terhadap bencana asap yang melanda sejumlah daerah di Tanah Air beberapa bulan lalu.
7 Desember: SBY akan bicara tantangan perubahan iklim
Hari ini, Senin siang, Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berbicara di diskusi panel Council Green Growth Institute.
SBY adalah ketua dari lembaga yang berpusat di Korea Selatan itu. Diskusi akan digelar di Paviliun Korea Selatan di Hall 2 area COP 21 di Le Bourget, Paris.
"Saya akan berbicara mengenai tantangan perubahan iklim, dan bagaimana memerangi perubahan iklim seraya melakukan pembangunan berkelanjutan," kata SBY kepada Rappler.
Hari ini Presiden COP 21 yang juga Menteri Luar Negeri Laurent Fabius juga akan memulai pembahasan draf teks Kesepakatan Paris. Pekan lalu, sampai hari Sabtu, para delegasi menegosiasikan aspek teknis dalam draf sepanjang 38 halaman. Masih banyak perbedaan di antara delegasi.
Utusan Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, mengumumkan bahwa Indonesia akan memonitor sistem akuntasi karbon, melalui sebuah lembaga yang disebut Indonesia National Accounting Carbon System (INCAS).
Hal ini disampaikan Rachmat dalam acara Global Landscape Forum di sela acara COP 21 di Paris.
“Sistem ini akan membantu memonitor pengurangan emisi karbon yang kami lakukan, dalam rangka mencapai target pengurangan emisi 29 persen pada 2030,” kata Rachmat.
Pemantauan akan menggunakan data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan berada di bawah divisi riset kementerian lingkungan hidup dan kehutanan.
5 Desember: Delegasi di COP 21 sepakati draf teks Kesepakatan Paris
Dalam draf teks tercantum soal pentingnya mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, hak untuk membangun, hak untuk kesehatan, hak untuk komunitas adat, migran, anak-anak.
Selain itu, draf teks juga menjelaskan tentang perlindungan terhadap orang dengan kebutuhan khusus, orang yang rentan terkena dampak perubahan iklim, serta mereka yang dalam situasi dijajah sampai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam beragai program dan aktivitas serta perumusan kebijakan terkait perubahan iklim.
Sabtu adalah tenggat yang diberikan Presiden COP 21, Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius. Karenanya, para delegasi perunding bekerja sampai malam hari, di lokasi acara di Le Bourget, utara Paris.
Masih ada sejumlah hal yang harus dibahas di tingkat menteri dan memerlukan keputusan politik.
Di antara isu yang masih alot adalah soal diferensiasi. Banyak negara keberatan mengubah kenyataan bahwa negara-negara dibagi menjadi kelompok negara berkembang dan negara maju, sebagaimana situasi ketika konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditandatangani pada 1992.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di antara aspek diferensiasi adalah INDC. “Secara umum negara-negara maju melihat diferensiasi harus disesuaikan dengan masing-masing elemen, seperti mitigasi yang menegaskan INDC adalah self-differentiation,” ujarnya.
Soal adaptasi, dukungan juga harus diberikan secara berbeda untuk setiap negara, guna meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim. “Masing-masing negara berbeda tingkat kerentanannya,” kata Siti.
Dalam hal finansial, negara maju masih tetap berpandangan akan tetap memberi bantuan bersama (countries willing/able to do so). Dalam hal transparansi diperlukan standard an satu sistem yang disepakati bersama.
Dalam hal mitigasi, negara berkembang konservatif seperti Tiongkok, India, Malaysia, Venezuela. Saudi Arabia dan Tuvalu berpandangan untuk tetap mengacu kepada tanggung jawab secara historis dan menginginkan perbedaan beban. Aksi mitigasi merupakan kewajiban negara maju dan kontribusi sukarela negara berkembang.
Negara berkembang juga menolak konsep self-differentiation karena akan membuka ruang aksi yang minimalis bagi negara maju.
Menurut Siti, sesuai dengan informasi para perunding, negara berkembang yang setuju dengan pandangan negara maju adalah Meksiko dan Kolumbia.
Indonesia mengingatkan pentingnya prinsip konvensi common but differentiated responsibilities dan respective capabilities (CBDR-RC).
“Kemajuan yang dicapai harus dibarengi dengan dukungan,” kata Siti.
Negara maju wajib memimpin di depan dalam ambisi pengurangan emisi global dengan prinsip kesetaraan, sementara negara berkembang tetap diberikan ruang untuk menjalankan pembangunannya.
“Harus ada pengakuan terhadap upaya negara berkembang yang telah berkontribusi dan negara maju harus berikan dukungan atas prestasi itu,” ujar Siti.
4 Desember: Komitmen Uni Eropa di tengah sulitnya janji finansial negara maju
Dalam diskusi tentang Forest, Climate, and People, Uni Eropa menyatakan dukungan kuat untuk mendukung mengatasi deforestasi di negara tropis, termasuk Indonesia.
Uni Eropa selama ini adalah pendukung terbesar dalam agendaReducing Emission from Deforestration and Degradation(REDD+) di negara berkembang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan bahwa sejak tahun 2006, Uni Eropa sudah memberikan bantuan sebanyak 3 miliar Euro atau sekitar 30 persen dari total kebutuhan finansial global untuk melindungi hutan tropis dan mengurangi emisi karbon gas rumah kaca.
Dukungan finansial REDD+ oleh Uni Eropa ini diberikan secara berimbang untuk negara yang memiliki areal hutan terbesar di dunia termasuk Afrika, Amerika Latin, dan Asia.
Uni Eropa juga menyediakan akses untuk data satelit bumi hasil pengamatan melalui program Copernicus, dan menghabiskan dana sebesar 30 juta Euro per tahun.
Data observasi satelit yang dioperasikan Uni Eropa meliputi 64 negara mitra REDD+ dengan luasan 40 juta kilometer persegi.
Uni Eropa juga mengembangkan pendekatan holistik dalam mengatasi deforestrasi sejalan dengan agenda Sustainable Development Goals yang ditetapkan pada deklarasi di New York 2014 tentang Forest atau hutan.
Menurut Siti Nurbaya, Indonesia menyambut baik penegasan Uni Eropa terutama terkait dengan fokus dukungan pada deforestasi dan degradasi melalui tata kelola hutan yang baik.
Indonesia juga memerlukan dukungan pemutakhiran data hutan dengan menggunakan citra satelit.
4 Desember: Mendukung prinsip ‘common but differentiated responsibilities’
Negara-negara peserta COP 21 mendukung diberlakukannya prinsip common but differentiated responsibilities, yang artinya adalah negara maju tetap diharapkan memimpin upaya pengurangan emisi, sementara negara berkembang —termasuk Indonesia— tetap diberikan kesempatan untuk melakukan pembangunannya.
4 Desember: Walhi demo kecam korporasi pembakar lahan dan hutan
Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta perhatian internasional atas kejadian kebakaran hutan di Indonesia yang telah membakar lahan sebesar 2 juta hektar dan meninggalkan belasan korban jiwa. Sedangkan ribuan warga lainnya harus mengungsi.
Walhi menuntut pemerintah Indonesia dan meminta perhatian internasional agar perusahaan pembakar hutan dan lahan segera ditindak hukum. Saksikan video wawancara dengan anggota Walhi di bawah ini, laporan Uni Lubis langsung dari Paris:
4 Desember: Perbedaan kepentingan negara besar vs kepulauan kecil
Negara-negara kepulauan kecil, seperti Tuvalu, menginginkan agar Kesepakatan Paris mencantumkan agar ambang batas panas suhu bumi 1,5 derajat Celsius pada 2020. Negara maju? Tetap kukuh pada 2 derajat Celsius.
3 Desember: Dibutuhkan komitmen pemimpin negara
Kemajuan negosiasi COP 21 Paris pada 3 Desember meliputi Agenda Stocktaking Contact Group dengan Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius, yang juga presiden COP 21.
Fabius mengatakan bahwa 150 pemimpin sedunia telah menyampaikan pesan yang jelas bahwa Kesepakatan Paris harus sukses dan untuk itu maka para negosiator harus sejalan dan berkomitmen sama kuat dengan para pemimpinnya. Ia mengatakan sangat penting untuk mengimplementasikan panduan politik yang sudah diberikan tersebut.
"Kita tidak boleh kehilangan momentum. Selama ini kelambatan dalam mencapai kesepakatan harus diatasi," kata Fabius.
Melalui proses politik yang sudah ada, maka segera dilanjutkan dengan pembahasan berbagai dokumen dan muatan yang sudah dipersiapkan dalam diskusi-diskusi pra-COP.
Ia juga mengingatkan bahwa semua harus selesai dengan baik dan tepat waktu. "Saya berharap kita bekerja dengan transparan dan inklusif.”
3 Desember: Kecaman negara kepulauan
MASA DEPAN KEMANUSIAAN. Sebuah komunitas yang menjadi korban dahsyatnya topan Haiyan menulis pesan untuk kemanusiaan.
Perdana Menteri Tuvalu Enele Sosene Sopoaga mengecam negara maju yang cenderung melambatkan proses negosiasi menuju Kesepakatan Paris.
"Kesepakatan Paris harus mengikat secara hukum bagi semua anggota COP dan negara kepualauan seperti Tuvalu sudah merasakan dampak perubahan iklim. Setiap saat pulau kami bisa tenggelam karena peningkatan permukaan air laut," kata PM Sopoaga.
Dia mengkritisi tidak transparannya proses perundingan. Dalam konferensi pers yang diadakan di Paviliun Aliansi Negara Kepulauan Kecil, Kamis (3/12). PM Sopoaga mengatakan, bahkan mitra dekat Tuvalu seperti Uni Eropa, masuk dalam irama perundingan yang didikte oleh negara besar.
Tuvalu terdiri dari sembilan pulau kecil di kawasan Pasifik Selatan yang mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada 1978. Lima dari pulau yang menjadi bagian dari Tuvalu terdiri dari batu koral, empat lainnya berupa tanah yang muncul dari laut.
Tuvalu sebelumnya dikenal dengan nama Pulau Ellis, begitu rendahnya, sehingga posisinya tak pernah lebih tinggi dari 4,5 meter di atas permukaan laut.
Negeri kecil dengan penduduk 11,200 orang itu hanya seluas 26 kilometer persegi. Kehidupan rakyatnya tergolong sulit karena situasi alam. Mayoritas mata pencarian adalah petani kelapa dan produk olahan.
PM Sopoaga mengingatkan bahwa masa depan eksistensi negara pulau kecil seperti Tuvalu bergantung kepada niat serius negosiator dan semua negara di COP 21 Paris untuk memastikan bahwa target ambang batas suhu bumi di bawah 2 derajat celsius.
"Kami menginginkan ambang batas 1,5 derajat celcius, karena saat ini dengan posisi suhu bumi 1 derajat celsius, rakyat Tuvalu sudah sengsara," kata Sopoaga.
Sebelumnya, Utusan Khusus Presiden Indonesia Urusan Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar, mengatakan bahwa keinginan sejumlah negara yang menginginkan ambang batas suhu ditetapkan 1-1,5 derajat celcius sulit dipenuhi.
Saat ini dari 146 Intended Nationally Determined Contribution (INDC), atau proposal penurunan emisi karbon, yang diperjuangkan adalah 2 derajat celsius pada 2020.
"Sejauh ini mayoritas negara di COP Paris mungkin bisa sepakat untuk ambang batas suhu bumi sedikit di atas 2 derajat celsius," kata Rachmat kepada Uni Lubis dari Rappler Indonesia di arena COP 21 Paris.
Posisinya saat ini, jika dijumlahnya komitmen dalam INDC maka suhu bumi adalah sekitar 2,7-3,5 derajat celcius. Itu berasal dari komitmen 150 negara yang hadir di Paris, dan mencakup 90 persen dari produksi emisi karbon sevcara global.
Saat ini Indonesia bekerjasama dengan aliansi negara berkembang dalam kerangka G-77, termasuk Tiongkok yang notabene produsen emisi karbon terbesar di dunia, untuk mencapai kesepakatan yang diharapkan bisa menggantikan Protokol Kyoto.
"Memaksa negara-negara untuk membatasi ke angka 2 derajat celcius hanya akan menciptakan friksi dalam grup," kata Rachmat Witoelar yang juga mantan menteri lingkungan hidup
2 Desember: Badan Restorasi Ekosistem Gambut diumumkan dalam dua pekan ini
Tampak depan Paviliun Indonesia di COP 21, Paris, Perancis. Foto oleh Uni Lubis/Rappler
Jumpa Pers Menteri LHK Siti Nurbaya, Utusan Khusus Perubahan Iklim Rachmat Witoelar dan Ketua Panitia Pengarah PI Sarwono Kusumaatmadja, pagi ini (2/12).
Menteri Siti Nurbaya menyatakan bahwa Badan Restorasi Ekosistem Gambut akan diumumkan dalam dua pekan ini, begitu pula keputusan Presiden terkait penanganan lahan gambut. Presiden Joko "Jokowi" Widodo sangat serius soal moratorium ijin lahan gambut. Penanganan hukum atas pelaku kebakaran lahan dan hutan juga terus dimonitor. "Ada berkas perkara yang sudah dilimpahkan ke kejaksaan agung," kata Siti.
Bagaimana sikap Indonesia atas usulan untuk menetapkan target pemanasan bumi maksimum 1 derajat celcius ketimbang target 2 derajat celcius yang disepakati saat ini?
Menurut Siti, dari 146 negara yang sudah memasukkan proposal INDC, 119 sudah dieksaminasi. Secara agregat penurunan suhu bumi dari pengurangan emisi karbon atas 119 INDC itu adalah 2,7 - 3, 5 derajat celsius. "Jadi pegangan kita yang 2 derajat, dan kita optimistis bisa melakukannya terutama melalui penghentian alih fungsi lahan," kata Siti.
30 November: Jokowi berpidato soal kebakaran lahan dan komitmen Indonesia
Presiden Jokowi menyampaikan pidato di COP 21, Paris, 30 November 2015. Foto oleh Hotmangaraja Panjaitan






Presiden Jokowi menyampaikan pidato di COP 21, Paris, 30 November 2015.
Dalam pidatonya, Jokowi menyebut bahwa Indonesia memiliki kondisi geografis yang rentan terhadap perubahan iklim. Ia juga mengatakan bahwa Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan gambut akibat El Nino yang panas dan kering.
Namun, masalah tersebut telah dapat diselesaikan. Menyikapi hal tersebut, Jokowi menegaskan bahwa penegakan hukum secara tegas telah dilakukan.
Namun permasalahan yang dihadapi tidak menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi.

Untuk itu, menurut Jokowi, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen di bawah business as usual pada tahun 2030. Namun, dapat mencapai 41 persen dengan bantuan internasional.
29 November: Jokowi tiba di Paris
Jokowi tiba di Paris, 29 November 2015. Jokowi akan sampaikan kontribusi Indonesia pada perubahan iklim. Foto dari Setkab.go.id
Jokowi tiba di Paris, 29 November 2015. Jokowi akan sampaikan kontribusi Indonesia pada perubahan iklim. Foto dari Setkab.go.id
Jokowi tiba di Paris. Ia dijadwalkan menyampaikan pidato pemimpin COP 21 esok harinya, Senin.
Delegasi Indonesia ada 412 orang dari lintas kementerian teknis, termasuk di dalamnya 58 dari lembaga swadaya masyarakat dan 30-an swasta, serta 40-an negosiator.
Sementara itu, kegiatan di Paviliun Indonesia akan ada 47 sesi diskusi panel selama 12 hari.
Mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dijadwalkan mengisi salah satu panel tingkat tinggi di Paviliun Indonesia. Saat ini, SBY menjabat sebagai Ketua Dewan Global Green Growth Institute (GGGI).









26 November: Jokowi akan sampaikan restorasi lahan gambut
Conference of Parties 21 di Area Ekspo Le Bourget, Paris. Foto oleh Uni Lubis/Rappler
Delegasi Indonesia ke COP 21 akan dipimpin langsung oleh Jokowi.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, Jokowi akan menyampaikan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon 29 persen. Proposal Indonesia itu tercantum dalam naskah Intended Nationally Determined Contribution (INDC).
1 September: Dokumen perumusan perubahan iklim Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) didampingi telah menyerahkan draft final Intended Nationally Determined Contribution (INDC) Indonesia ke Jokowi pada 31 Agustus 2015.
INDC adalah dokumen yang harus dirumuskan oleh semua negara dalam kerangka Persatuan Bangsa-Bangsa Untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) yang akan dibahas dalam COP 21.
Sekitar 40,000 diplomat, pakar, dan aktivis, beserta ratusan kepala negara akan berkumpul di Paris, Perancis, untuk menghadiri Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) 21, mulai Senin, 30 November.
COP 21 adalah forum di mana wakil resmi dari 195 negara dan 1 blok ekonomi (Uni Eropa) bertemu mendiskusikan rencana kemanusiaan untuk memerangi perubahan iklim. Rencana aksi itu akan diterbitkan dalam kesempakatan tertulis yang akan disebut: Kesepakatan Paris untuk Perubahan Iklim.
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius. Saat ini suhu bumi sudah mencapai sekitar 0,85 derajat Celsius.



Tanya Jawab atas Konferensi COP21 di Paris
Dari 30 November hingga 11 Desember 2015, para pemimpin dunia berkumpul di Paris untuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang akan sangat mempengaruhi keberhasilan upaya penanganan perubahan iklim. Konferensi Tingkat Tinggi ini disebut dengan nama COP21, yang merupakan kepanjangan dari 21st Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change alias konferensi ke-21 dari negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.
Sebagai negara yang sudah merasakan buruknya dampak perubahan iklim dan sangat membutuhkan cara-cara menanggulanginya, Indonesia menghadiri COP21, dengan harapan terjadi kesepakatan-kesepakatan di antara delegasi Indonesia dengan delegasi-delegasi dari negara-negara lain, untuk menjaga keselamatan planet bumi dari dampak perubahan iklim.
Simak Tanya (T) dan Jawab (J) di bawah ini untuk mengetahui lebih jauh mengenai COP21 dan janji serta rencana pemerintah Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim.

T : Apa perbedaan COP dan UNFCCC?
J : COP, yang merupakan kependekan dari Conference of the Parties adalah pemegang otoritas tertinggi dari UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), yaitu perjanjian antar negara yang diprakarsai oleh PBB dan bertujuan untuk menanggulangi perubahan iklim. COP diadakan setiap tahun sejak 1995 dan dihadiri negara-negara yang bergabung di UNFCCC yang disebut sebagai Parties to the Convention. UNFCCC memiliki SBSTA (Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice) dan SBI (Subsidiary Body for Implementation), dua badan yang bertugas memberikan masukan atau saran pada COP dalam hal ilmiah, teknologi, metodologi dan segala yang berkaitan dengan penerapan konvensi.

T : Apa peran Indonesia dalam COP21?
J : Bersama negara-negara lainnya, Indonesia menghadiri COP21 untuk mencapai kesepakatan kolektif mengenai pembatasan kenaikan temperatur global yang tidak boleh lebih dari 2°C. Tujuan COP 21 untuk mencapai kesepakatan baru di tingkat internasional atas upaya penanggulangan perubahan iklim secara universal, yang disetujui dan dapat dilaksanakan di semua negara, untuk menjaga peningkatan suhu bumi dibawah  2°C, secara fleksibel dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan dari tiap negara, seimbang dalam hal adaptasi dan mitigasi, serta jangka panjang dengan target yang direvisi secara rutin.

T : Bagaimana komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer?
J : Emisi GRK Indonesia diprediksi sebesar 1.800 MtCO2e pada tahun 2005, dimana 63% berasal dari perubahan penggunaan lahan dan kebakaran gambut. Sementara 19% berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Indonesia berkomitmen menurunkan kadar emisi sebesar 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2020 dibanding skenario business as usual, dengan pertumbuhan ekonomi 7% per tahun. Pada tahun 2030, Indonesia berkomitmen mengurangi kadar emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri.

T : Sudahkah Indonesia memiliki skema organisasi yang tepat untuk memenuhi komitmen yang dijanjikan Presiden Jokowi di COP21?
J : Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) baru dibentuk di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melaksanakan fungsi operasional (implementasi) atas mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, juga melaksanakan fungsi koordinatif (leadership) atas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di seluruh sektor terkait, termasuk pengawasan, evaluasi, serta pelaporan pelaksanaan, baik di tingkat nasional maupun internasional ke UNFCCC. Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengkoordinasikan upaya penanganan perubahan iklim di semua sektor, dengan menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK dan RAN API (Adaptasi Perubahan Iklim). Program-program perubahan iklim akan digerakkan pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD).

T : Bagaimana Indonesia menurunkan emisi di bidang tata kelola hutan?
J : Presiden Joko Widodo menjanjikan akan menerapkan kebijakan satu peta, atau one map policy untuk meredam konflik penguasaan lahan di Indonesia. Indonesia juga akan menetapkan moratorium serta review ijin pemanfaatan lahan gambut, dan menerapkan Sustainable Forest Management atau Sistem Pengelolaan Hutan Lestari, guna menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, penanaman pohon juga akan ditingkatkan untuk penyerapan karbon. Pengamanan kawasan hutan dari kebakaran dan pembalakan liar juga ditingkatkan. Teknologi remote sensing untuk menganalisa area tangkapan karbon dan pemetaan alih guna lahan juga akan digunakan. 

Reference:
http://www.wwf.or.id/?44183/Tanya-Jawab-Seputar-Konferensi-Perubahan-Iklim-COP21


posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

TUGAS PKTI 2C

Main tebak-tebakan yuk



Followers

    Popular Posts


Recent Comments