Cute Tinkerbell "Kampung Inggris"-nya Indonesia - Belagustinaaa!

"Kampung Inggris"-nya Indonesia

Sebulan menghabiskan hari di Kampung Inggris, Pare, Kediri, memberikan pengalaman yang tidak biasa bagi saya. Bisa dibilang ini pengalaman kedua terasyik saya setelah Program Indonesia Mengajar setahun lalu.
Sejak awal, tujuan saya ke Pare tidak hanya untuk belajar bahasa Inggris, tapi lebih dari itu adalah mengamati Kampung inggris secara umum. Tak ketinggalan untuk jalan-jalan tentunya. Yah, bisa dibilang 40 % untuk belajar bahasa Inggris, selebihnya adalah wisata.
Kampung Inggris memang sangat menarik. Banyak orang berbondong-bondong datang kesini, Dari sabang sampai Merauke. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah, mengapa memilih Kampung Inggris di tengah banyaknya tempat kursus bahasa Inggris yang lebih bonafit, yang tersebar di seluruh Indonesia? Mengapa bukan English First, Wallstreet, LIA, atau yang lainnya?
Sampai sekarang ini memang menjadi pertanyaan besar. Tapi setelah menjelajah selama sebulan di sini, saya rasa saya bisa menjawab pertanyaan itu, paling tidak untuk diri saya sendiri. Apa saja itu? Banyak hal. Karena banyaknya, saya tertarik menceritakan kepada siapa pun yang mau tahu, dalam beberapa bagian.

(Bag.1) Sejarah Singkat: Mr. Kalend dan jejak-jejak Clifford Geertz

Salah satu moment penting ketika di Pare adalah saat saya berkunjung ke BEC (Basic English Course) dan berbincang dengan pendirinya, Mr. Kalend. Ia adalah tonggak dari adanya kampung Inggris seperti hari ini. Beliau menceritakan sejarah, dinamika dan perkembangan kampung Inggris.
Pria asal Kutai Kertanegara ini adalah orang pertama yang membuat tempat kursus di Pare. Ia menceritakan asal mula pendirian BEC. Awalnya tanpa sengaja. Saat itu, Mr. Kalend sedang menimba ilmu bahasa Arab dan bahasa Inggris di Gontor. Suatu hari, saat Mr. Kalend menyapu halaman mesjid, datanglah beberapa mahasiswa dari Surabaya dengan maksud ingin belajar kepada Guru Mr. Kalend, H. Muhammad Yazid. Karena sedang di luar kota, maka sang Guru mengamanahkan kepada Mr. Kalend untuk mengajari mahasiswa tersebut. Di luar dugaan, Mr. Kalend mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan mahasiswa itu. Menyadari itu, Mr. Kalend –dengan dukungan dari sang Guru- akhirnya berpikir untuk membuka lembaga kursus. Saat itulah BEC mulai didirikan di desa Tulungrejo, Pare, Kediri.
Bukan hal yang mudah bagi Mr. Kalend dalam mendirikan lembaga kursus. Ia harus menghadapi tantangan bahkan, hujatan dari hampir seluruh masyarakat di sekitar Tulungrejo. Wajar saja, bagi masyarakat Jawa yang saat itu masih kental dengan nilai-nilai tradisional, mendengar bahasa Inggris tentu membawa kecurigaan dalam banyak hal, misalnya, soal ancaman penyebaran nilai-nilai orang kafir. Tapi Mr. Kalend mencoba menjelaskan dan mematahkan ketakutan itu bahkan, membuktikan sebaliknya. Masyarakat Tulungrejo justru ‘banjir’ keuntungan dari adanya kampung Inggris ini. Hari ini, lebih dari 180 (menurut data Kampung Bahasa) tempat kursus tersebar di Pare.
Mr. Kalend adalah sosok yang menarik di mata saya. Selain rendah hati, Ia sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Sejak awal mendirikan lembaga kursus, Ia telah memikirkan nilai kemanusiaan di atas nilai material. Bayangkan saja, Ia memutuskan membangun gedung kursus tanpa asrama. Di pikiran Mr. Kalend, “Dalam berkarya, jangan dinikmati sendiri. Usahakan lingkungan sekitar juga menikmati,” jelasnya. Karena itulah Ia tak membuat asrama. “Biar masyarakat di sekitar lembaga kursus saja yang mengambil alih bagian ini,” tambah Mr. Kalend. Makanya tak heran jika hingga saat ini, hampir segala jenis usaha ada di Pare. mulai dari kosant, asrama/camp, warung, toko buku, hingga toko souvenir khas Pare.
Hal lain yang menarik adalah niat dasar Mr. Kalend mendirikan lembaga kursus. Ia sadar betul bahwa pendidikan sangat penting bagi semua orang namun tidak semua orang mampu mengenyamnya. Sedari awal, Ia sangat memikirkan bagaimana menyediakan lembaga kursus dengan biaya murah. Karenanya, hingga saat ini, Pare mempunyai image sebagai tempat kurusus yang murah. Bagi Mr. Kalend, mendirikan tempat kursus bukan soal bisnis tapi bagian dari ibadah kepada Sang Khalik. “Saya gini ya, saya sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lain itu masih sangat kurang. Belum tentu diterima Tuhan. Makanya, berbagi ilmu ke orang lain adalah tambahan ibadah bagi saya. Saya percaya doa murid-murid saya adalah pelengkap ibadah saya,” jelas Mr. Kalend.
Selain soal tempat kursus, saya juga tak mau melewatkan kesempatan untuk mempertanyakan jejak-jejak Clifford Geertz., antropolog yang dikenal atas debutnya membagi tipe orang Jawa dalam tiga klasifikasi. (Baca : The Religion Of Java). Pada dia saya tahu bahwa tenyata Geertz mendarat ke Pare selama dua kali. Pertama pada 1954 dan selanjutnya tahun 1986. Geertz mengabadikan jejak-jejaknya di Pare dalam bukunya yang saat ini banyak dikritisi oleh beberapa antropolog.
Dalam beberapa kesempatan, Mr. kalend berbincang bahkan menemani Geertz ke lokasi penelitiannya di Pare. Meski begitu, sempat terjadi ketegangan-ketengan kecil antara Mr.Kalend dengan Geertz. Di dalam buku (jika tidak salah judul bukunya ‘After the Fact’, halaman 121), Geertz menyerang Mr. Kalend. Menurut Mr. Kalend, mungkin Geertz tersinggung dengan salah satu isi pidatonya di satu waktu. Salah satu pernyataan Mr. Kalend, “Saya ngajar bahasa Inggris bukan supaya murid-murid saya menjadi kafir. Tapi supaya mereka mengerti tentang orang kafir.”
Mr. Kalend juga sempat mengomentari tentang pembagian tipe orang Jawa di dalam buku Geertz. Mr. Kalend tidak ingin membenarkan atau menyalahkan Geertz. Tapi ia ingin mengatakan bahwa pembagian itu sebenarnya menyakiti hati orang Jawa. Karena orang Jawa sendiri tidka pernah membagi dirinya ke dalam tiga tipe tersebut.
Lepas dari semua itu, Mr. Kalend menilai Geertz sebagai orang yang baik. Mr. Kalend banyak belajar bahasa Inggris dari Geertz. Yang paling berkesan adalah ketika Geertz menjelaskan bahwa semua V + ing itu adalah Gerund. Apapun tensesnya.

(Bag.2) Lima Kelebihan Kampung Inggris

(Sebelumnya, saya sudah menceritakan tentang sejarah singkat Kampung Inggris. Sekarang saya ingin melanjutkannya dengan menyorot hal menarik lainnya yang ada di sini).
Murah, merakyat, berkualitas, berkarakter dan religius. Lima kata pamungkas itu adalah slogan yang dilekatkan di Kampung Inggris. Ini sekaligus disebut-sebut sebagai kelebihan Kampung Inggris dibanding tempat kursus Inggris lainnya.
Saya sempat heran sejenak, lalu tersenyum kecil ketika mengetahui hari ini masih ada mi ayam dengan harga tiga ribu lima ratus rupiah. Yah itu ada di sini. Di Jakarta atau di tempat lain mungkin sebaiknya kita tidak berharap menemui hal ini. Bukan hanya mie ayam atau bakso, makanan pokok seperti nasi pun sangat murah. Cukup dengan enam ribu rupiah, nasi, sayur, plus bebagai jenis ayam dipastikan dapat dinikmati. Jika makanan pokok saja berkisar di harga itu, tentu sudah terbayang rata-rata harga makanan lainnya disini.
Lalu bagaimana dengan harga lembaga kursusnya? Setiap lembaga kursus memasang tarif yang berbeda. Dari Rp 35.000-125.000 setiap satu program (pelajaran). Umumnya 100.000 per program. Namun ada juga satu lembaga kursus yang agak ‘gila’, sampai Rp. 2.000.000 untuk program paket sekaligus camp. Yah, yang satu ini memang dikenal dengan kualitas dan garansinya. Lembaga ini berani mengembalikan sebagian uang siswanya jika programnya dianggap tidak berhasil (dengan beberapa indikator).
Umumnya, setiap lembaga kursus menyediakan paket program dan fasilitas camp (asrama). Jika kita hanya punya waktu dua minggu misalnya, kita akan mendapatkan tiga program regular bahasa Inggris sekaligus camp serta ditambah dengan dua program tambahan camp dengan harga Rp.400.000. Untuk paket sebulan, kita akan mendapatkan lima paket program regular, dua program camp, serta camp-nya dengan harga Rp. 600.000. Sangat murah bukan?
Sangat berbeda jika kita menengok lembaga-lembaga kursus yang ada di kota-kota besar, seperti English First (EF), LIA, apalagi Wallstreet. Di lembaga-lembaga bonafit itu, tampaknya kita tidak akan menemukan orang-orang yang berekonomi lemah. Bukan hanya soal harga, tapi juga prestige. Dalam artian, jika kita mengintip EF atau Walsstreet, kita akan disuguhi pemandangan sebagian besar orang-orang yang berpakaian rapih dan style modern. Ini seolah ingin mematenkan bahwa tempat ini memang ekslusif, paling tidak banyak orang yang mampu berada disitu. Tapi di Pare tidak menggambarkan satu kelas tertentu. Semua orang bisa berkumpul dan berbaur disana. Dari siswa SMP hingga dosen, dari pengangguran hingga pengacara, dari birokrat hingga aktifis NGO, dari Aceh hingga Papua.
Umumnya lembaga kursus memilih gazebo, saung atau taman sebagai tempat belajar. Bukan gedung yang tinggi menjulang dengan sarana pendingin ruangannya. Cara ini memang sengaja dipilih untuk menggambarkan kondisi merakyatnya pendidikan di sini. Selain itu, beberapa lembaga kursus juga sering memilih metode outdoor sebagai media pembelajaran salah misalnya, ke sawah atau ke tempat yang cukup terkenal “ketan” jadi sekalian bisa menikmati lezatnya Ketan dalam beberapa rasa. Harapannya agar lebih dekat dengan masyarakat..
Bicara soal kualitas tidak perlu diragukan. Bahkan program dua minggu sekalipun bisa efektif bagi sebagian besar orang. Wajar saja karena proses pembelajaran yang intensif (Senin-Sabtu) dengan kelas regular ditambah beberapa kelas tambahan. Selain itu, pemberlakukan ‘english area”, yaitu kewajiban menggunakan bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari, khususnya di camp masing-masing. Saya kira lingkungan ini yang mendukung terbangunya rasa kepercayaan diri dan kebiasaan “ber-Inggris”. Meski memang keberhasilan itu tidak lepas dari keseriusan seseorang dalam menerima pelajaran atau pun seberapa banyak program yang orang tersebut jalani setiap harinya, tapi pengaruh lingkungan sangatlah besar
Dalam setiap pembelajaran atau program bahasa Inggris setiap lembaga kursus berusaha memasukkan nilai-nilai humanisme Tujuannya adalah terjadinya pembentukan karakter di dalam diri setiap siswa. Ini adalah cita-cita mulia sekaligus amanah dari Mr. Kalend. Karena kita tidak ingin mencetak manusi-manusia yang lihai dalam menggunakan bahasa Inggris, atau bahkan mempelajari budaya Ingris, tapi tidak punya karakter Keindonesiaan khususnya, dan humanisme umumnya.
Terakhir adalah soal religiusitas. Jawa Timur memang dikenal dengan suasana religiusnya. Beberapa pesantren besar berpusat di sana, sebut saja Gontor dan Tebuireng milik Gus Dur sekeluarga. Sejak menjadi “Kampung Inggris” orang-orang berdatangan dari berbagai daerah dengan budayanya masing-masing. Mau tidak mau, percampuran budaya pun terjadi. Bahkan pada tingkat tertentu bisa mengurangi bahkan mungkin menghilangkan budaya masyarakat Pare sebelumnya. Nah, di sinilah tuntutan untuk menjaga nilai religius masyarakat setempat. Salah satu yang paling menonjol di beberapa lembaga kursus adalah diadakannya yasinan rutin setiap malam Jumat dan shalat berjamaah di camp masing-masing.

(Bag.3) RAB, FKB dan ASSET: Tiga Komunitas Belajar

Suatu hari, beberapa anak muda berkumpul di warung kopi. Mereka berbincang banyak hal tentang Pare, khususnya Kampung Inggris. Mereka mengamati perkembangan Kampung Inggris setiap waktu. Mereka sadar betul bahwa sebagian besar siswa kampung Inggris adalah pelajar. Bahkan ada yang profesional seperti guru, pengacara, staff perkapalan, dan lain-lain. Sekelompok anak muda ini pun berinisiatif membentuk forum diskusi yang diberi nama “Rumah Anak Bangsa” (RAB). Bisa dibilang RAB adalah satu-satunya forum diskusi yang terbuka, cukup diketahui publik dan membahas segala tema di setiap malam Minggu.
Selama di Pare, hampir setiap malam Minggu saya habiskan untuk diskusi RAB. Ini seperti menjadi pilihan tepat jika ingin me-refresh pikiran yang seminggu sebelumnya diisi dengan hal-hal yang berbau bahasa Inggris. Bahkan saya dan tiga teman Pengajar Muda-Indonesia Mengajar-yang kebetulan sedang kursus di Pare-sempat sharing tentang pendidikan dan kepemimpinan di forum ini. Merupakan satu kebanggaan bagi saya khususnya, karena mendapat kesempatan berbagi dengan teman-teman di Pare.
RAB punya sejarah yang cukup panjang. Sempat vakum beberapa tahun. Salah satu sebabnya adalah keterbatasan waktu dari para pengurusnya. Hampir semua pengurusnya adalah para pembelajar bahasa Inggris yang datang dari berbagai daerah. Sehingga bagi mereka yang telah selesai masa belajarnya harus kembali ke daerahnya. Itu artinya pengurus RAB menjadi berkurang dan akhirnya tak terurus.
Membincang masalah peserta diskusi, hampir sama dengan forum-forum diskusi lainnya. Sepengamatan saya, tidak banyak yang datang ke diskusi RAB. Tentu banyak faktor. Beberapa di antaranya misalnya, tidak semua tahu informasi keberadaan RAB. Ada juga beberapa yang tahu tapi memang tidak tertarik ikut diskusi. Dan beberapa lainnya yang sebenarnya berminat diskusi, tapi sangat berfokus dengan bahasa Inggris sehingga tidak ingin “membuang” waktu dengan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan bahasa Inggris. Alasan terakhir ini yang cukup menyedihkan bagi saya karena kebanyakan dari mereka adalah anak muda tapi berfikir sempit. Mereka terlalu mengagungkan bahasa Inggris dan me-reject soal-soal lain yang sebenarnya lebih krusial untuk segera diselesaikan.
Selain RAB, ada juga Forum Kampung Bahasa (FKB). Semakin menjamurnya lembaga kursus berimplikasi pada semakin tingginya dinamika yang meliputinya, khususnya antara lembaga kursus itu sendiri. Olehnya itu, sejak 2010, FKB resmi dibentuk sebagai wadah yang menaungi seluruh lembaga kursus yang terdaftar di Kampung Inggris. Setiap bulan, FKB mengundang seluruh owner atau perwakilan lembaga kurus untuk berkumpul, bersilaturahmi, sekaligus membicarakan segala hal yang terkait dengan Kampung Inggris dan lembaganya, khususnya perkembangan kampung Inggris itu sendiri.
Bukan hanya dari lembaga kursus, FKB pun menjadi salah tempat pengaduan masyarakat jika ada masalah di Kampung Inggris. Beberapa tahun lalu, terjadi bentrokan antara dua anak muda yang sama-sama sedang kursus di lembaga kursus yang berbeda. Waktu itu, malam hari sehingga sempat mengganggu masyarakat umum. Kejadian ini sampai menyeret lembaga kursusnya. FKB pun menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah ini.
Ketika saya berdiskusi dengan Mr. Ari, ketua FKB, saya melihat Ia membawa idealisme dan semangat perubahan. Di detik-detik sebelum saya meninggalkan Pare, saya sempat beberapa kali mengikuti pertemuan beberapa komunitas diskusi, pemilik warung, kos-kosan, owner lembaga kursus, dan semua stakeholder, yang diinisiasi oleh Mr. Ari. Dari sini saya tahu bahwa sebenarnya ada beberapa forum diskusi di Kampung Inggris tapi tidak banyak diketahui publik. Olehnya itu, Mr. Ari berusaha mengumpulkan semuanya agar ke depan bisa bekerja sama dan saling mendukung. Debut pertama kerjasama antar stakeholder ini dibuktikan pada perayaan hari sumpah Pemuda, 28 Oktober, di Alun-Alun Pare. Sayangnya saya sudah kembali ke Jakarta sebelum acara ini dilaksanakan.
Selain komunitas publik, ada juga komunitas kebudayaan. Namanya Asset (Association Of Sulawesi Student). Komunitas ini terbentuk karena melihat banyaknya pendatang yang berasal dari Sulawesi sehingga lahirlah inisiatif untuk berkumpul di satu tempat. Yah, mungkin seperti sejarah Indonesa di masa lalu, sebelum merdeka. Saat beberapa orang dijajah maka mereka merasa senasib sepenanggungan dan akhirnya berkumpul bersama untuk berjuang lepas dari penjajah.
Asset bukan lembaga kursus tapi mempunyai camp sendiri yang dihuni oleh orang Sulawesi. Meski tidak semua pendatang yang berasal dari Sulawesi tinggal di sini. Sama dengan camp di lembaga kursus lainnya, di camp Asset juga ada peraturan dan program wajib (subuh serta malam hari). Saat ini Asset mempunyai enam camp. Dua camp girls dan empat untuk boys. Bisa dibilang Asset adalah sebuah organisasi. Ada struktur organisasi dan aturan di dalamnya. Sekretariatnya adalah camp center. Asset mempunyai agenda diskusi rutin dan beberapa event sosial yang biasanya bersifat insidental.
Saya sempat menghabiskan waktu dua minggu di Asset 4 gils camp. Saya ingin ceritakan bagian ini lebih panjang karena bagi saya moment dua minggu di Asset cukup berkesan. Sebelum pindah ke camp Asset, dua minggu sebelumnya saya nge-camp di Global English (GE). Saya memutuskan untuk pindah camp karena seperti tujuan saya di awal, saya ingin belajar dan mengamati banyak hal di sini. Selain itu, saya juga ingin keluar dari zona nyaman di GE, saya ingin mencoba suasana yang lain. Awalnya saya ingin mencoba camp yang lain, yang di dalamnya terdiri dari beragam karakter, suku, dan lainnya, bukan dalam satu suku yang sama (Sulawesi).
Tapi akhirnya saya memutuskan pindah ke Asset dengan alasan yang cukup idealis (paling tidak bagi saya). Bertepatan dengan saya memutuskan ingin pindah, Asset baru saja membuka girls camp baru (Asset 4). Saat itu, penghuninya baru empat orang, di mana keempatnya baru saja datang dari Makassar (new comers). Saya berfikir, mereka masih baru, bisa dibilang belum terlalu tahu tentang apa dan bagaimana Pare. Sedikit banyak mereka akan butuh informasi bahkan mungkin pendamping. Aapalagi saya meilihat Asset ini bukan hanya sekedar camp tapi sebuah organisasi. Saya merasa perlu ada di sini dengan harapan dapat berkontribusi bahkan membangun organisasi ini dengan memulai sesuatu yang baru dari camp ini, dengan keempat teman yang baru tersebut.
Kami pun mulai menyusun peraturan dan menghias camp. Termasuk menyusun program camp secara mandiri, mulai dari speaking, writing, grammar, expression, vocabulary, listening music, dan lainnya. Kami berlima secara bergantian menjadi fasilitator di setiap program itu. Memang goal awalnya adalah membangun rasa percaya diri, tanggung jawab dan disiplin di antara kami.
Menariknya, kami mempunyai beberapa tepukan (tepuk dora, tepuk semangat, tepuk ceria) dan yel-yel yang biasa digunakan di sela-sela program, biasanya di saat pembukaan dan penutupan. Bukan rahasia lagi, bahwa metode ini mampu membangkitkan semangat dan keceriaan lebih. Tidak hanya pada anak-anak tapi saya kira pada semua orang.
Waktu dua minggu tentu sangat singkat untuk sebuah perubahan, apalagi perubahan perilaku. Selama di Asset, saya mengusulkan beberapa program dan berusaha mengajak teman-teman agar menmanfaatkan waktunya tidak hanya untuk belajar bahasa Inggris tapi segala hal yang bisa dilakukan selama di sini. Alhamdlillah, saya sempat memfasilitasi diskusi buku “Pare dan Catatan yang Tak Usai” serta nonton bareng dan diskusi film “Tanda Tanya”. Dari situ saya melihat bukannya teman-teman tidak suka diskusi, hanya saja mungkin butuh difasilitasi dan butuh metode yang lebih menarik.
Selain diskusi, yang paling menyenangkan adalah saya sempat berbagi ilmu “Senam Ria Anak Indonesia” kepada teman-teman. Setiap hari hari Minggu pagi, kami berkumpul di depan Asset center camp, lalu senam bersama. Sebenarnya senam ria adalah senam untuk anak-anak, tapi saya rasa masih menarik dilakukan oleh siapa pun. Dan ternyata betul. Saya melihat antusiasme teman-teman cukup baik. Tak jarang mereka senyum bahkan tertawa melihat gerakannya. Setelah senam ria, biasanya dilanjutkan dengan ‘Gangnam Style’.
Begtiulah waktu dua minggu di Asset. Selalu ada yang menarik jika berkumpul dengan teman-teman sesama suku. Mendengar bahasa dan logat Sulawesi mereka, selalu mengingatkan saya akan kampung halaman. Semangat kekeluargaan itu sangat terasa khususnya, bersama teman-teman Asset 4 yang saya sebut Asset Ceria. Karena dari awal kami membangun semangat percaya diri, semangat belajar yang tinggi, dan pastinya selalu ceria (tanpa galau).

(Bag. 4-habis) Pelesir

Jika ditanya lebih banyak mana waktu kursus dibanding jalan-jalan? Jalan-jalan jawabku. kira-kira 40% kursus dan 60 % jalan-jalan. Bagi saya, semua tempat menyimpan sejarah. Sebulan di Pare tak ingin saya lewatkan tanpa mengunjungi tempat-tempat bersejarah dan tempat hiburan umum lainnya. Seminggu pertama di Pare, saat weekend, saya dan teman-teman camp Global English mengunjungi candi dan gua Surowono.Candi Surowono mempunyai empat lorong. Untuk memasuki lorong, kita harus menundukkan kepala. Semakin ke dalam, semakin menunduklah kita. Bahkan hampir merayap karena lorongnya memang disetting semakin ke dalam, semakin pendek.Selain itu, lorongnya juga sangat gelap. Sehingga ketika berjalan bersama teman, kita dituntut saling bekerjasama. Yang di depan harus bisa memberikan aba-aba dengan benar, lalu sambung menyambung hingga ke belakang.Yah, kira-kira seperti acara petualangan.
Minggu kedua mengantarkan saya ke gunung Bromo dan salah satu air terjun di Batu. Bromo yang selama ini hanya ada dalam angan-anganku akhirnya menjadi nyata. Ketika jam menunjukkan pukul 04.00 WIB, saya telah berada di antara kerumunan orang-orang yang sedang menanti sunrise. Sebenarnya lebih tepat jika saya katakan melihat kerumunan orang daripada melihat sunrise. Begitu padatnya orang, bukan hanya berdiri, tapi mereka sampai menaiki bangku bahkan pagar. Saya sendiri tak lagi bisa meyaksikan dengan jelas yang namanya sunrise itu. Begitu yang dinanti-nanti datang (sunrise), euphoria orang-orang pun langsung memenuhi tempat ini.
Setelah menikmati Bromo, perjalanan dilanjutkan ke air terjun Rondo di Batu, Malang. Di bawah pohon rindang, di kawasan air terjun, ada sekumpulan seniman (yang lebih popular dengan sebutan pengamen) yang menyanyikan lagu-lagu hits. Saya pun tergerak untuk bergabung di sana. Sebenarnya alasan utama saya hanya untuk berphoto. Tapi supaya terkesan elegan, saya pun meminta izin untuk ikut bernyayi bersama. Tidak tanggung-tanggung, dengan meminjam alat musik gemerincingnya, saya ikut menyanyikan tiga buah lagu. Di kesempatan itulah, teman saya mengambil gambar.
Minggu selanjutnya, saya dan teman-teman Asset mengunjungi Simpang Lima Gumul. Gumul terletak di jalan besar, sebelum masuk kota Kediri. Arsitektur bangunan Gumul cukup artistik. Bisa dibilang Gumul adalah salah satu rujukan tempat berkumpulnya masyarakat kampung Inggris. Selain tempat rekreasi, beberapa lembaga kursus atau komunitas memilih Gumul sebagai tempat belajar, rapat, atau hanya sekedar berkumpul biasa.
Wisata Jamur adalah salah satu tempat favorit juga bagi saya. Di sana kita bisa menikmati aneka macam jamur. Seperti jamur krispi, rica-rica, dan variasi lainnya. Selain itu, tempatnya juga cukup mengasyikkan. Lokasinya berada di pinggir jalan besar. Tepat di seberangnya, terdapat satu Plaza –sejenis Ramayana. Di samping kiri-kanannya adalah pusat pertokoan.
Terakhir, tapi yang paling terkenal di masyarakat kampung Inggris, adalah wisata ketan. Tempat ini lebih dikenal dengan sebutan ‘ketan’. Di sini tersedia beberapa jenis ketan, yaitu ketan biasa, ketan susu, ketan bubuk kedelai, dan ketan campur (susu dan bubuk kedelai). Biasanya, ketan ini dicampur dengan susu Milo atau teh hangat. Lokasinya yang terletak di persawahan, ditambah pohon-pohon besar yang tinggi menjulang di depannya, menambah nikmatnya suasana .
Begitulah perjalanan selama sebulan di Pare. Jika bebebrapa orang mengatakan Pare adalah salah satu surga dunia, saya ingin menambah daftar dari orang-orang itu. Pare memang open paradise. Suatu saat nanti, saya ingin kembali lagi ke sana.

Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/05/sebuah-catatan-sebulan-di-kampung-inggris-nya-indonesia-513559.html

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

TUGAS PKTI 2C

Main tebak-tebakan yuk



Followers

    Popular Posts


Recent Comments